Biyung, begitulah saya biasa memanggil ibu saya. Setelah beberapa kali ada sms penipuan "Tolong belikan mama pulsa ..." saya akhirnya membalas, "Waduh salah. Saya tidak pernah punya mama. Saya hanya punya biyung". Saya memang hanya punya biyung, bukan simbok, ibu atau mama. Dia orang Jawa agak kuno dari kampung. Begitu juga saya yang dilahirkannya. Karenanya saya tidak malu atau ragu tetap memanggilnya biyung, sampai dia dipanggil Tuhan hari Kamis, 1 Desember 2011 jam 16.00 lalu, dalam usia 80 tahun lebih.
Terima kasih biyung,
untuk semua kasih setiamu.
Selamat jalan,
masuklah dalam kebahagiaan
sejati yang tanpa batas waktu.
Dalam kenanangan akan dirinya saya muat tulisan yang saya buat tahun 1997-an. Foto sebelah diambil beberapa tahun sebelumnya.
Sekarang ini biyungku (biyung = ibu, bahasa Jawa) tinggal di dapur. Tempat tidurnya (gledheg: tempat tidur kayu yang sekaligus lemari penyimpanan barang-barang, buatan ayah) menjadi satu dengan tungku masak, lemari makanan, tempat peralatan makan dan dapur, serta kandang ayam. Ini agak kelewatan, tapi dia senang. Rumah kakak saya memang masih kecil, namun dia menghendaki untuk tinggal di sana. Kondisi yang demikian membangkitkan banyak kenangan bagi saya yang mengenalnya. Biyung dan dapur.
Dunia biyung adalah dapur. Ia menghabiskan beratus-ratus ribu jam di tempat itu. Kalau setiap hari ia rata-rata bekerja enam jam di dapur, seluruh waktu yang dihabiskannya sampai saat ini sudah 4.320.000 jam. Di tempat itu, ia memasak, momong (mengasuh anak), menumbuk padi, mencuci piring, berkomunikasi dengan suami dan anak-anak, makan, dan menangis.
Tidak ada peralatan istimewa di ruang itu kecuali tungku kayu (pawon), sejumlah peralatan masak, lesung penumbuk padi, dan sebuah bangku. Dinding dan langit-langitnya berjelaga hitam dan lantai tanah dipenuhi abu serta potongan kayu bakar. Dapur yang ditempatinya tidak berbeda dengan dapur rumah-rumah lain di kampung saya. Kurang lebih seperti itu.
Yang istimewa adalah kehadiran biyung di sana. Dialah wanita satu-satunya di rumah kami. Hanya pada dirinyalah kami temukan figur kelembutan dan kehangatan perhatian seorang wanita. Dia pulalah yang memegang kunci untuk makan sehari-hari. Dalam perannya sebagai penyedia makanan ini, dia praktis memotori seluruh kegiatan keluarga.
Oleh karena itu, dapur kemudian praktis menjadi tempat berkumpul keluarga setiap hari. Tidak ada satu tempatpun di rumah kami sehangat dapur. Di sana dipersatukan ayah yang sedang menikmati teh hangat setelah pulang dari sawah dan kehujanan, anak-anak yang asyik membakar singkong sambil berdiang, dan biyung yang tetap asyik memasak.
Sampai sekarang ini, saya tidak merasakan tempat lain yang lebih nyaman dari pada dapur tempat tinggal biyung. Makan dengan sambel bawang putih sambil duduk beralaskan sabut kelapa di muka tungku menyala. Biyung ada di sana, berceritera tentang kucingnya yang beranak dua, tentang beberapa teman sebaya yang baru-baru ini mati, tentang peralatan dapur yang baru dibelinya, atau tentang cucu-cucu yang nakal. Biyung ada di sana, mengisap rokok lintingan sendiri dan minum teh hangat kesukaannya.
Biyung mampu menjadikan dapur sebagai dunia yang indah. Bukan dengan perlengkapan yang mewah atau makanan yang mahal-mahal. Dia menghiasi dunianya dengan kasih dan kesetiaan. Ia tidak perlu berkata-kata banyak bertindak yang aneh-aneh untuk mengumpulkan kami. Cukup dengan sikap sederhana seorang ibu yang tidak mengeluh, yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya dengan tekun.
Dapur menjadi tempat yang indah karena pada dasarnya adalah hati biyung sendiri. Hatinya yang lapang menerima anak-anaknya duduk-duduk dengan tenang, hatinya yang menyediakan kemurahan bagi siapapun yang lapar, hatinya yang mampu memberikan kehangatan bagi yang kedinginan. Dapur adalah penjelmaan dirinya yang mencinta.
Ketekunan dan kasih setia itulah yang juga membuat masakan apapun yang dibuatnya terasa sedap. Bagi kami, tidak ada seorangpun bisa membuat masakan seenak biyung. Rasa garam, gula, dan bumbu-bumbu lain terpadu dengan pas, tidak kurang tidak lebih. Ketekunan dan kasih setia itu jugalah yang membuat kami selalu kangen berkumpul di sekitar tungku dan biyung, membagi hidup bersama-sama.
Terima kasih biyung,
untuk semua kasih setiamu.
Selamat jalan,
masuklah dalam kebahagiaan
sejati yang tanpa batas waktu.
Dalam kenanangan akan dirinya saya muat tulisan yang saya buat tahun 1997-an. Foto sebelah diambil beberapa tahun sebelumnya.
Sekarang ini biyungku (biyung = ibu, bahasa Jawa) tinggal di dapur. Tempat tidurnya (gledheg: tempat tidur kayu yang sekaligus lemari penyimpanan barang-barang, buatan ayah) menjadi satu dengan tungku masak, lemari makanan, tempat peralatan makan dan dapur, serta kandang ayam. Ini agak kelewatan, tapi dia senang. Rumah kakak saya memang masih kecil, namun dia menghendaki untuk tinggal di sana. Kondisi yang demikian membangkitkan banyak kenangan bagi saya yang mengenalnya. Biyung dan dapur.
Dunia biyung adalah dapur. Ia menghabiskan beratus-ratus ribu jam di tempat itu. Kalau setiap hari ia rata-rata bekerja enam jam di dapur, seluruh waktu yang dihabiskannya sampai saat ini sudah 4.320.000 jam. Di tempat itu, ia memasak, momong (mengasuh anak), menumbuk padi, mencuci piring, berkomunikasi dengan suami dan anak-anak, makan, dan menangis.
Tidak ada peralatan istimewa di ruang itu kecuali tungku kayu (pawon), sejumlah peralatan masak, lesung penumbuk padi, dan sebuah bangku. Dinding dan langit-langitnya berjelaga hitam dan lantai tanah dipenuhi abu serta potongan kayu bakar. Dapur yang ditempatinya tidak berbeda dengan dapur rumah-rumah lain di kampung saya. Kurang lebih seperti itu.
Yang istimewa adalah kehadiran biyung di sana. Dialah wanita satu-satunya di rumah kami. Hanya pada dirinyalah kami temukan figur kelembutan dan kehangatan perhatian seorang wanita. Dia pulalah yang memegang kunci untuk makan sehari-hari. Dalam perannya sebagai penyedia makanan ini, dia praktis memotori seluruh kegiatan keluarga.
Oleh karena itu, dapur kemudian praktis menjadi tempat berkumpul keluarga setiap hari. Tidak ada satu tempatpun di rumah kami sehangat dapur. Di sana dipersatukan ayah yang sedang menikmati teh hangat setelah pulang dari sawah dan kehujanan, anak-anak yang asyik membakar singkong sambil berdiang, dan biyung yang tetap asyik memasak.
Sampai sekarang ini, saya tidak merasakan tempat lain yang lebih nyaman dari pada dapur tempat tinggal biyung. Makan dengan sambel bawang putih sambil duduk beralaskan sabut kelapa di muka tungku menyala. Biyung ada di sana, berceritera tentang kucingnya yang beranak dua, tentang beberapa teman sebaya yang baru-baru ini mati, tentang peralatan dapur yang baru dibelinya, atau tentang cucu-cucu yang nakal. Biyung ada di sana, mengisap rokok lintingan sendiri dan minum teh hangat kesukaannya.
Biyung mampu menjadikan dapur sebagai dunia yang indah. Bukan dengan perlengkapan yang mewah atau makanan yang mahal-mahal. Dia menghiasi dunianya dengan kasih dan kesetiaan. Ia tidak perlu berkata-kata banyak bertindak yang aneh-aneh untuk mengumpulkan kami. Cukup dengan sikap sederhana seorang ibu yang tidak mengeluh, yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya dengan tekun.
Dapur menjadi tempat yang indah karena pada dasarnya adalah hati biyung sendiri. Hatinya yang lapang menerima anak-anaknya duduk-duduk dengan tenang, hatinya yang menyediakan kemurahan bagi siapapun yang lapar, hatinya yang mampu memberikan kehangatan bagi yang kedinginan. Dapur adalah penjelmaan dirinya yang mencinta.
Ketekunan dan kasih setia itulah yang juga membuat masakan apapun yang dibuatnya terasa sedap. Bagi kami, tidak ada seorangpun bisa membuat masakan seenak biyung. Rasa garam, gula, dan bumbu-bumbu lain terpadu dengan pas, tidak kurang tidak lebih. Ketekunan dan kasih setia itu jugalah yang membuat kami selalu kangen berkumpul di sekitar tungku dan biyung, membagi hidup bersama-sama.
For PDF pattern only. The file will send directly to your email. Including the instruction sheet detailing color of fabric, sizes, a complete color listing (number of skeins to purchase) |
|
masdriyo@gmail.com Whatsapp chat | Messenger Send pictures to convert |