Dalam kenangan akan biyung Sarah Sairah Jogoatmojo, yang dipanggil Sang Khalik 1 Desember 2011 lalu, saya muat satu tulisan lagi (saya tulis tahun 1997-an). Beberapa kali tulisan ini saya pakai untuk memberi gambaran betapa hebatnya profesi seorang ibu rumah tangga.
Saya mempunyai seorang biyung. Dia sudah tua kini. Umurnya mungkin sudah tujuh puluh tahun. Kalaupun berapa persis umurnya sulit dipastikan, gigi ompong dan keriput di sekujur tubuhnya memberikan ceritera yang tidak bisa berbohong mengenai banyak tahun yang sudah dilewatinya.
Sudah lama saya ingin memutar riwayat hidupnya secara utuh, mulai dari masa kanak-kanak sampai saat ini. Bagi yang tidak mengenalnya, kisah hidupnya mungkin terasa biasa. Memang dia tidak pernah melakukan hal-hal besar. Ia wanita biasa, ibu rumah tangga biasa, sangat biasa bahkan.
Cukup menarik bila menghitung-hitung secara matematis. Angka-angka yang keluar bisa sangat fantastis. Taruh kata, biyung mulai bekerja pada usia lima belas tahun, sehingga secara kasar sampai saat ini ia sudah mengantongi lima puluh lima tahun masa kerja. Setahuku, dia belum pernah melakukan cuti besar. Bolehlah beberapa bulan terakhir selama masa kehamilan anak-anak dan saat-saat sakit dianggap waktu cuti. Tapi saya yakin itu tidak akan lebih dari tiga tahun. Kalau demikian lima puluh tahun adalah angka yang aman. Dengan demikian ia sudah bekerja sebagai 'wanita' selama 600 (enam ratus) bulan, 2.400 (dua ribu empat ratus) minggu, atau 720.000 (tujuh ratus dua puluh ribu) hari. Bila sehari ia dari jam lima pagi sampai jam tujuh malam (empat belas jam), maka ia sudah bekerja selama 10.080.000 (sepuluh juta delapan puluh ribu) jam.
Bila angka-angka itu diperincikan lagi dalam tugas-tugas yang sudah dikerjakan biyung sampai saat ini, akan ditemukan angka yang lebih mengundang perhatian.
Mencuci pakaian, dua hari sekali 36.000 kali
Mencuci piring, minimal dua kali sehari 1.440.000 kali
Menanak nasi, dua kali sehari 1.440.000 kali
Merebus air, dua kali sehari 1.440.000 kali
Membuat sayur, sekali sehari 720.000 kali
Menghidupkan tungku dapur, minimal tiga kali sehari 2.160.000 kali
Membuat minum untuk suami, tamu, atau anak,
minimal sekali sehari 720.000 kali
Bekerja di luar rumah (ladang, sawah, tegalan) dua hari sekali 36.000 kali
Memandikan anak (minimal empat anak, sehari dua kali, masing-masing minimal selama tiga tahun) 8.720 kali
Menyuapi anak, minimal 8.720 kali
Membersihkan rumah dan sekitarnya, tiga hari sekali 24.000 kali
Belanja ke pasar, seminggu sekali 2.400 kali
Selain daftar tugas di atas, masih ada banyak tugas lain yang tidak tercatat. Misalnya saja, membuat gaplek dan menumbuknya sebagai bahan tiwul, menumbuk padi, membuat makanan tambahan, dan menjalankan tugas sosial (kondangan, layat, atau menengok orang sakit). Ada deretan panjang tugas-tugas tradisional wanita-ibu yang secara berkala harus dilaksanakannya.
Melihat perbandingan angka-angka di atas, tugas biyung lebih banyak di dalam rumah. Seringkali pekerjaan di rumah dianggap remeh, tidak seperti tugas seorang ayah yang harus mengolah tanah pertanian. Sekilas, nampaknya memang remeh dan bukan pekerjaan besar. Namun kesan itu keliru kalau kita melihat berapa jauh kilometer yang harus dilangkahi biyung dalam pelaksanaan tugasnya. Dalam perhitungan kasar, setiap hari ia berjalan kaki mondar mandir di sekitar tungku, rak makanan, tempat penyimpanan kayu, sumur, halaman, tempat sampah menempuh jarak rata-rata satu kilometer. Di tambah perjalanan ke pasar (2 km x 2.400 = 4.800 km) dan perjalanan ke tempat pertanian (1 km x 36.000 = 36.000 km), total perjalanan yang sudah ditempuhnya dengan berjalan kaki adalah 760.800 km.
Tentu saja angka-angka di atas bersifat sangat kasar. Tidak dapat dikatakan hari-hari yang dilalui biyung sama padat dan sibuknya. Hari-hari tersibuk tentu saja berlangsung selama kurang lebih dua puluh lima atau tiga puluh tahun masa perkawinan dengan ayah. Sebelum menikah, kendati sudah harus mengerjakan tugas-tugas yang khas bagi seorang wanita (memasak, mencuci, dan mengasuh anak kecil) hari-harinya belum sesibuk dan seberat ketika ia sendiri masuk ke dalam perkawinan. Begitu juga sepuluh tahun terakhir ini ketika anak-anak sudah besar dan mulai berkeluarga, ia mempunyai taraf kesibukan yang berbeda.
Kendati demikian, saya tetap mempertahankan angka kasar di atas, sebagai kompensasi dari banyak tugas ekstra lain yang harus ia tanggung. Yang jelas, biyung hanya mempunyai anak laki-laki saja, yang nota bene tidak bisa membantu banyak pekerjaan seorang biyung. Kami bisa menanak nasi, menjerang air, dan membersihkan rumah. Namun, itu bukan pekerjaan rutin kami. Hanya kalau biyung sedang tidak bisa saja kami mendapat tugas itu. Memasak sayur dan membuat lauk tetap monopoli biyung. Itu susahnya tidak mempunyai anak wanita, kata biyung.
Saya kira, angka-angka itu akan hidup bila disambungkan dengan acara harian yang secara rutin ia jalani. Acara harian ini saya ambil dari tahun-tahun masa kecil saya (beberapa tahun sebelum ayah meninggal) dan yang pada dasarnya masih tetap berlaku untuk sekitar sepuluh tahun sesudah kematian ayah.
05.00 Menanak nasi, merebus air, menghangatkan sayur
06.00 Menyediakan minum, membersihkan kandang, mencuci peralatan masak
07.00 mencuci piring, pakaian, berangkat ke tanah pertanian atau mulai menumbuk padi kalau tidak kerja di luar rumah berarti bisa mengerjakan macam-macam hal: menjemur padi, mempersiapkan diri untuk masakan siang
10.30 mulai masak untuk makan siang
12.00 cuci peralatan masak, cuci piring, membalik jemuran (biar keringnya merata)
14.00 pergi ke sawah lagi atau melanjutkan menumbuk padi, mengerjakan pekerjaan di rumah (memilih benih padi, bikin minyak goreng, menguliti kacang atau kedelai)
16.30 mengangkat jemuran, bersiap masak untuk makan malam
18.00 makan malam, cuci piring, cuci peralatan masak (dia tidak pernah membiarkan alat dapur tertumpuk dalam keadaan kotor)
19.00 melanjutkan pekerjaan yang bisa dilakukan malam, mandi
20.30 tidur
Jam-jam seperti itu tidak pernah persis, hanya perkiraan saja. Pekerjaan-pekerjaan juga tidak susul menyusul secara tertib. Sering kali biyung harus melakukan dua atau tiga pekerjaan sekaligus. Memasak sambil momong dan memilihi kacang. Mencuci pakaian sambil membuat minyak goreng, dst.
Biasanya dari pagi sampai malam praktis biyung tidak sempat beristirahat. Selalu saja ada yang dikerjakan. Kadang-kadang sejenak ia melayani tetangga yang datang atau tamu, tetapi kemudian segera asyik dengan pekerjaannya sampai malam tiba. Bahkan, ia tidak punya waktu khusus untuk makan. Ia makan sekenanya saja, satu dua suap sudah cukup. Sering makan dalam arti sungguh (dengan piring dan tidak hanya satu dua suap, walaupun pasti tidak ada separo jatah makan saya ketika es em pe) baru sempat ia lakukan pada malam hari, setelah pekerjaan-pekerjaan hari itu selesai dan mandi. Dia selalu mandi kalau pekerjaan-pekerjaan sudah selesai (berarti hampir selalu malam), karena kalau nanti masih harus kerja lagi akan berkeringat lagi. Percuma, katanya.
Dalam usia yang sudah senja kini, biyung masih bekerja. Dia tinggal serumah dengan keluarga kakak nomer tiga, yang mempunyai dua puteri dan tambahan seorang bayi kecil. Walaupun tidak pernah disuruh dan bahkan seringkali justru dilarang bekerja, ia tidak berhenti bekerja. Memasak, mencuci peralatan dapur, dan renik-renik pekerjaan di rumah sudah begitu mendarah daging sehingga ia justru tersiksa kalau tidak menyentuhnya. Ia baru berhenti kalau tubuhnya sudah benar-benar tidak dapat bergerak.
Kadang-kadang pekerjaan biyung tidak terbatas hanya untuk keluarga kakak nomer tiga. Kalau isteri dua kakak yang lain sedang repot atau pergi, pekerjaan dapur keluarga mereka tetap jatuh ke tangan biyung. Ia tidak pernah tega melihat anak dan cucu-cucunya 'telantar'.
Saya tidak pernah sangsi akan ketotalan biyung pada tugas-tugasnya. Itu terbukti dengan angka-angka prestasi yang sudah diraihnya, dan dengan semangatnya yang tetap tidak padam kendati tubuh sudah lemah.
Saya juga tidak pernah ragu akan ketulusannya. Ia tidak pernah bertanya "mengapa harus bekerja" atau "untuk apa harus bekerja", dua pertanyaan modern yang dihubungkan dengan 'spiritualitas kerja'. Ia tidak bertanya tapi bekerja, 'just do it'. Istilah 'kewajiban seorang ibu atau seorang wanita' tidak pernah terdengar dari mulutnya. Dia mencuci piring karena ia tahu piring itu akan digunakan lagi untuk makan dan saat itu masih kotor. Dia memasak karena ia tahu suami dan anak-anak pada jam sekian akan makan dan saat itu belum ada makanan.
Yang ada di balik semua kerelaan melaksanakan pekerjaan seberat apapun adalah cinta kepada orang-orang yang ada di dekatnya. Bagi seorang ibu seperti dia, tidak ada hal lain yang lebih penting selain kesejahteraan dan kegembiraan keluarga. Asal semua dapat menikmati kebahagiaan, ia rela melakukan segala-galanya.
Angka-angka yang saya sebut di atas bisa membuat gila bila bukan prestasi yang mengalir dari cinta. Sekali saja ia menyebut soal balas jasa dari anak-anak, matematika cinta dengan angka-angka fantastis itu (lebih konkrit lagi kalau angka-angka itu dihitung untuk masing-masing anak) akan berubah menjadi asuransi tidak terbayarkan oleh anak-anaknya. Syukurlah biyung saya sungguh mencintai dengan tulus. Dalam keadaan tersakiti sekalipun oleh anak-anaknya, ia tidak pernah menyebut soal balas jasa. Dia tidak pernah menyinggung soal rahim yang menumbuhkan, soal air susu yang membesarkan, atau soal air mata yang menyertai perkembangan anak-anaknya.
Sikap tulus-cinta ini tidak hanya menggoreskan angka-angka itu dengan tinta emas dalam hidup anak-anaknya, namun juga menempatkannya pada deretan para pahlawan dunia. Bintang jasa pantas disematkan di dadanya. Dia biyung saya, wanita yang setia.
For PDF pattern only. The file will send directly to your email. Including the instruction sheet detailing color of fabric, sizes, a complete color listing (number of skeins to purchase) |
|
masdriyo@gmail.com Whatsapp chat | Messenger Send pictures to convert |